BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dunia kesehatan akan selalu berkembang seiring perkembangan
zaman. Semakin banyak penemuan yang dilakukan oleh para ilmuan
untuk memperkaya dunia kesehatan. Salah satunya euthanasia istilah ini
digunakan untuk menyebutkan sesuatu tindakan mempercepat proses kematian seseorang
secara wajar. Hal ini dilakukan untuk mengakhiri penderitaan si pasien dengan
syarat ada persetujuan dan sesuai prosedur.
Membunuh
bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembuhuhan legal yang sampai
kini masih jadi kontroversi. Tidak hanya dinegara-negara Barat, tapi juga telah
merambah ke dunia Timur, bahkan juga di Indonesia. Pembunuhan legal ini pun ada
beragam jenisnya.
Secara umum, kematian adalah suatu topik yang
sangat ditakuti oleh publik. Hal demikian tidak terjadi di dalam dunia
kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah
selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir
menjadi sesuatu yang definit dan dapat dipastikan tanggal kejadiannya.
Euthanasia memungkinkan hal tersebut terjadi. Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara
tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan
untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya.
Kelompok-kelompok pendukung euthanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938. Banyak data menyebutkan telah terjadi euthanasia di berbagai Negara.
Kelompok-kelompok pendukung euthanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938. Banyak data menyebutkan telah terjadi euthanasia di berbagai Negara.
B. RumusanMasalah
1.
Apakah euthanasia itu dan apa jenisnya?
2.
Bagaimana pandangan tentang euthanasia?
3.
Bagaimana euthanasia dalam syariah Islam?
C. Maksud dan Tujuan
Maksud
dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama
Islam.
Tujuan
dari penyusunan makalah ini ada yaitu :
1.
Mengetahui apa definisi euthanasia
dan apa saja jenisnya
2.
Mengetahui pandangan tentang euthanasia dari
berbagai pendapat yang diajukan.
3.
Mengetahui hukum euthanasia dilihat dari
perspektif islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengerttian
Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal
dari bahasa Yunani eu yang berarti
“baik”, dan thanatos, yang berarti
“kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti
tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan
meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada
dalam kesakitan dan
penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145). Dalam praktik
kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia
pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien
dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan
pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada
stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa
sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa
pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta
tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah (Utomo, 2003:176).
B.
Jenis
Euthanasia
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam
euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif qatl
ar-rahmah (pembunuhan dengan kasih
sayang) adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke
dalam tubuh pasien tersebut. (Utomo, 2003:176).Adapun
euthanasia pasif, taisir al-maut
(memudahkan kematian) adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien
yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat
disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien.
Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang
terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi,
sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif
lagi.
C.
Pandangan
Tentang Euthanasia
Masalah
Euthanasia menimbulkan pro dan kontara. Dalam hal ini tampak ada batasan karena
ada suatu yang mutlak berasal dari Tuhan Yang Maha Esa dan batasan karena hak
asasi manusia. Pembicaraan mengenai euthanasia tidak akan memperoleh suatu
kesatuan pendapat etis sepanjang masa. Karena masih banyak pertentangan
mengenai definisi euthanasia, berbagai pendapat diajukan di antaranya sebagai
berikut :
1)
Volutary Euthanasia
Permohonan diajuka
pasien karena, misalnya gangguan penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan
kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan fisik dan jiwa yang
tidak menjunjung
2)
Involuntary Euthanasia
Keinginan yang
diajukan pasien untuk mati tidak dapat di kerjakan karena, misalnya seseorang
yang menderita sindroma Tay Sach. Keputusan atau keinginana untuk mati berada
pada pihak orangtua atau yang bertanggung jawab.
3)
Assisted Suicide
Tindakan ini
bersifat individual dalam keadaan dan alasan tertentu untuk menghilangka rasa
putus asa dengan bunuh diri.
4)
Tindakan langsung
menginduksi kematian
Alasan adalah
meringankan penderitaan tanpa izin individu yang bersangkutan dan pihak yang
punya hak untuk mewakili. Hal ini sebenarnya merupakan pembunuhan, tetapi dalam
pengertian yang agak berbeda karena tindakan ini dilakukan atas dasar belas
kasihan.
D.
Contoh
Kasus
Contoh euthanasia aktif, misalnya
ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga
pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan
meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi
(overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan
rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
Adapun euthanasia
pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita
sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang
lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas,
sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi
pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat
tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter
menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih
mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan
pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang
sangat tinggi (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia pasif, misalkan
penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma,
disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang
yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat
mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya
dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177). Menurut
Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan.
Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua
kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain,
dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik
kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain
merupakan tindak pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003:178).
E.
Pandangan
Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah
sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat.
Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun
euthanasia pasif.
1)
Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan
euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu
al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien.
Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang
mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri
sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
“Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
“Dan tidak
layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena
tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
“Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah
bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu
termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang
merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.Dokter yang melakukan
euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum
pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh
pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
“Telah
diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS
Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh
(waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak
dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat
(tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.Firman Allah SWT :
“Maka barangsiapa
yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS
Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja
adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting,
berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar
dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah
1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000
dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak)
(Al-Maliki, 1990: 113). Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang
sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian
dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah
(empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui
dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan
euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit
yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW
bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik
kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang
menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah
yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
2)
Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif,
sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan
tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan
tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien.
Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara
menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya
menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu,
bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu
sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam
masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau
berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada
yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah,
seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68)
hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits,
di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di
sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang
tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah). Di antara hadits-hadits
tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya
Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan
Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah
(al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan
menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu
pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.”
(An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di
atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu
indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam
hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat
wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang
diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada
Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku
terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh].
Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan
mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah
aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka
berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.”
Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya.
(HR Bukhari) Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini
digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka
hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah
perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah
sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan
atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu
bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak
mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum
(1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien
telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan,
seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya
penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang
hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak
memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ
vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan
kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak
berfungsi. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat
bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang
hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan
pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah
matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter.
Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat
dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai
tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182). Namun
untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien,
walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan
mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib
diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 :
522-523).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Euthanasia merupakan suatu hal yang
menyimpang dari moral kemanusiaan. Hal ini karena menyangkut terhadap hak hidup
atau nyawa seseorang. Meskipun dalam kode etik kedokteran euthanasia itu
sendiri merupakan sebuah pelanggaran yang fatal, namun kode etik tidak bisa
menjamin akan tidak terlaksananya sebuah tindakan euthanasia. Apalagi
dibeberapa Negara telah melegalkan euthanasia dengan syarat-syarat yang telah
di tentukan.Islam sebagai agama rahmatal lil alamin memiliki pandangan
tersendiri akan hal ini. Dari sudut pandang hkum Islam, diputuskan bahwa
euthanasia aktif atau posiif adalah haram hukumnya. Sedangkan hukum euthanasia
pasif masih menjadi perdebatan, antara boleh dan tidak boleh. Tetapi
berdasarkan beberapa litelatur yang telah dikaji, penulis menemukan sebuah
benang merah yang bisa ditarik yaitu hukum kondisional, artinya euthanasia
pasif (menghentikan pengobatan) pada orang yang secara medis tidak tertolong
lagi maka boleh hukumnya, mengingat penyakit yang diderita dan beban yang
ditanggung dirinya dan keluarga. Sedangkan pada orang yang secara medis masih
bisa diselamatkan, maka wajib diteruskan pengobatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III.
Al-Quds :
Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Beirut :
Muassasah Ar-Risalah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX
(Al-Mustadrak).
Damaskus : Darul Fikr.
Damaskus : Darul Fikr.
Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah
Kontemporer
Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer. Jakarta : Gema Insani Press.
Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql A’dha`,
Al-Ijhadh,
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut : Darul Ummah.
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut : Darul Ummah.
Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan
Islam : Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan
Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji
Masagung
Komentar
Posting Komentar